Minggu, 03 Januari 2010

WAKTU DAN KEHIDUPAN

Setiap manusia tidak bisa lepas dari waktu. Dan kehidupan kita sendiri merupakan untaian waktu. Oleh karena itu, fenomena waktu ini harus kita cermati dengan hati-hati. Mengapa? Karena waktu bisa membinasakan orang yang melalaikannya. Al-waqtu kas saifi, in lam taqtha’hu qathaaka. Waktu ibarat pedang, bila kita tidak memanfaatkannya, maka pedang itu akan menebas kita, begitu kata pepatah Arab.

Waktu adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan ini, setelah mengenal ruang tiga dimensi manusia mengenal dimensi waktu. Suatu dimensi yang mengikat kehidupan setiap makhluk yang ada di jagad raya ini. Kemanapun ia pergi waktu akan selalu mengikuti dan menggerogoti usianya.

Pentingnya waktu banyak disinggung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dengan menggunakan nama-nama waktu untuk bersumpah. Allah menggunakan ungkapan Wadh-Dhuha, Wal-Laili, Wal ‘Ashr, Wal-Shubhi, Wan-Nahari, Wal-Fajri, semuanya merupakan upaya untuk mengingatkan umat Islam agar memperhatikan waktu. Secara khusus Allah SWT berfirman :

”Demi masa (waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS. Al-Ashr 1-3).



“Wal ‘ashri”, demi waktu, demikian Allah bersumpah kepada manusia dalam rangka mengingatkan manusia dari kewajiban mereka agar beriman, beramal shaleh dan bertaushiyah (saling menasehati). Tidak sedikit orang hidup di dunia ini







hidup dalam kerugian karena menyia-nyiakan waktu untuk mencapai peluang dalam mencapai
kebahagiaan, keselamatan dan kesejahteraan bagi dirinya dalam kehidupan bersama orang lain. Mereka lupa bahwa keberhasilan di dunia adalah ujian Allah SWT, keberhasilan itu sifatnya tidak abadi. Karena mereka lupa akan hal itu, maka mereka berlomba-lomba untuk mencapainya dengan jalan yang tidak diridhoi Allah SWT.

Waktu memiliki tiga karakteristik yang khas. Pertama, sangat cepat berlangsung, sehingga sulit diikuti perubahannya. Banyak manusia yang baru menyadari kesalahannya ketika waktu yang dijatahkan untuknya sudah habis, dan pada saat itulah mereka menyesal. Hal ini Allah ditegaskan dalam firman-Nya,

“Pada saat mereka melihat hari berbangkit (hari kiamat) itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia), melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”(QS.An-Nazi’at : 46).

Kedua, waktu yang berlalu tidak dapat dikembalikan atau ditukar. Padahal, nilai satu waktu sangat ditentukan oleh pemakainya. Bila ia lalai, maka kesempatannya berkurang atau hilang sama sekali. Bila akibat dari perbuatannya telah datang, ia tidak bisa kembali kepada penyebabnya. Demikian pula ketika hari pembalasan tiba, seseorang tidak akan dikembalikan meski untuk memperbaiki amalnya di dunia. Firman Allah,

”Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata;”Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al Munafiqun 10).

Ketiga, waktu merupakan bagian termahal dari yang kita miliki. Waktu tidak bisa dibandingkan dan dihargai dengan uang, kekayaan, kekuasaan atau atribut duniawi lainnya. Usia manusia adalah satu-satunya saat (waktu) untuk berbuat, menanam dan menumbuhkan. Setelah menjumpai kematian, manusia baru akan memetik hasilnya. Terkait dengan hal ini imam Hasan Bashri mengatakan, “Wahai manusia kamu adalah kumpulan hari-hari. Setiap kali hari berlalu, berlalu pulalah bagian dari umurmu”. Artinya dari waktu ke waktu manusia semakin dekat dengan saat dia menjumpai kematian. Firman Allah Ta’ala,

”Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Munafiqun 11).

Karena dorongan Al-Qur’an dan Sunnah para ulama kita dahulu sangat ketat dalam memelihara waktu. Imam Hasan Bashri mengomentari kehidupan salafusshalih dahulu dengan ucapan, “Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang perhatiannya terhadap waktu lebih besar daripada harta benda.” Beliau juga mengatakan, manusia itu tidak lebih dari gugusan waktu. Setiap kali hilang waktu hidupnya, berarti hilang pula kesempatannya untuk melakukan amal kebaikan.
Para ulama selalu berusaha mengisi setiap detik yang mereka miliki dengan ibadah dan amal shaleh. Mereka akan sangat menyesal bila waktu berlalu begitu saja, tanpa pahala (amal shaleh). Bagi mereka, waktu adalah ibadah. Ini sangat jauh berbeda dengan pandangan para pengagung materi yang mengatakan bahwa waktu adalah uang.

Kewajiban menghargai waktu digambarkan dalam hadits Rasulullah Saw. “Pergunakanlah yang lima sebelum datang yang lima. Pertama, waktu sehatmu sebelum datang saat sakitmu. Kedua, waktu senggangmu sebelum datang kesibukan. Ketiga, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Keempat, Saat engkau kaya, sebelum jatuh miskin. Kelima, masa hidupmu sebelum datang saat kematianmu.” (HR. Baihaqi)

Di saat sehat, memiliki kelapangan, muda, berharta dan masih hidup, kita memiliki potensi untuk melakukan yang terbaik. Tetapi manakala salah satu faktor tadi terganggu, maka kita kehilangan momentum untuk beramal shaleh. Contoh, apabila kita sakit, upaya kita untuk bekerja atau mencari nafkah bagi kemaslahatan umat akan terganggu. Ketika kita sudah berusia lanjut maka kita akan kesulitan dalam belajar atau menuntut ilmu. Oleh karena itu, lima peluang itu hendaknya dipelihara dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan amal ibadah.

Usia bagi kita adalah suatu kenikmatan dan nanti akan dipertanyakan / diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT pada hari Yaumuddin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW : “Tidak bergeser telapak kaki seorang manusia pada hari kiamat nanti, sehingga ditanya (diminta pertanggungjawaban) dari empat masalah nikmat; dari perihal umurnya, untuk apa dihabiskannya, dari hal ilmunya, untuk apa diamalkannya, dari hal kekayaannya, dari mana mengusahakannya kepada apa digunakannya, dan dari hal kekuatan fisiknya untuk apa digunakannya”.

Oleh karena itu Rasulullah SAW telah mengajarkan doa kepada umatnya, yaitu doa di saat menyongsong kehidupan, tiap-tiap pagi. Dengan demikian kita akan selalu optimis dalam menyongsong kehidupan waktu-waktu yang akan datang. Doa yang diajarkan beliau yaitu: “Ya Allah yang menciptakan semua langit dan bumi, dan mengetahui apa-apa yang tersembunyi dan apa-apa yang nyata, Tuhan segala sesuatu serta yang memilikinya; aku menyaksikan tiada Tuhan selain Dia, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kejahatan diriku sendiri dan dari kejahatan setan serta sekutunya”.

Kesuksesan dunia akhirat hanya akan dicapai oleh orang-orang yang menghargai waktu, dengan menyegerakan segala kebaikan yang akan diperbuatnya. Karena waktu hidup terbatas dan tidak diketahui kapan berakhirnya, setiap orang harus berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan waktu, tanpa menunda pekerjaan yang harus dilakukan. Seorang ulama yang sudah lanjut usia pernah menasehati beberapa pemuda yang masih belia. “Bekerjalah kamu sekalian,sebelum datang saat kamu tidak mampu untuk berbuat. Sebenarnya saya ingin bekerja hari ini, namun saya sudak tidak mampu lagi.”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz terkenal dengan kesibukannya yang luar biasa. Beliau menghabiskan wakunya untuk menyelesaikan banyak pekerjaan dan jarang beristirahat. Pada suatu hari, seorang shahabat yang merasa iba melihat kesibukan Khalifah, berkata, ”Wahai Khalifah, tangguhkanlah pekerjaan ini sampai besok !”. Namun dengan tegas Khalifah menjawab, ”Pekerjaan satu hari saja sudah membuatku letih, bagaimana dengan pekerjaan dua hari yang terkumpul menjadi satu?”

Ibnu Atta, seorang ahli hikmah berkata, “ Kewajiban dari tiap-tiap waktu mungkn bisa diganti, tapi hak-hak dari tiap waktu tidak mungkin diganti. Sesungguhnya, setiap waktu yang datang, Allah memberikan kewajiban yang baru kepada dirimu. Bagaimana kamu dapat mengerjakan kewajiban yang lain, padahal hak Allah sebelumnya belum kamu laksanakan?”
Tepatlah perkataan seorang mujahid dakwah asal Mesir, Hasan Al-Banna : “ Kewajiban yang harus dilakukan, lebih banyak dari waktu yang tersedia.”
Setiap manusia akan berpacu dengan waktu. Waktu memang bukan penyebab akhir dari kehidupan. Keterbatasan sel-sel, jaringan dan organ manusialah yang membuat suatu saat mereka harus berhadapan dengan malaikat maut, Izroil.
Sayangnya, banyak manusia yang tidak menyadari keberadaannya dalam waktu. Banyak diantara mereka yang merasa bebas, tiada dibatasi oleh sesuatu apapun. Akibatnya, mereka mempergunakan hidup ini dengan berbagai kegiatan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka kelak di akhirat. Bahkan tidak jarang manusia mengisinya dengan berbagai aktivitas yang menghancurkan atau membinasakan dirinya sendiri. Padahal Allah telah berfirman:

“ Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Anbiya 35)

Sesungguhnya, Allah memberikan jatah waktu bagi kehidupan manusia untuk diisi dengan amal kebaikan. Tiap rentang waktu akan dilhat seberapa banyak manusia mengisinya. Amal kebaikan ini menjadi pertimbangan utama pada hari akhirat nanti bagi manusia untuk dimasukkan ke suatu tempat bernama Al-Jannah (Syurga). Tempat yang tiada terikat lagi dengan waktu.

“ Sebagai balasan bagi mereka dari sisi Rabb mereka, syurga ‘Adn yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya, selamanya.” (QS. Al-Bayyinah 8).

Juga dalam surat Al-Waqi’ah ayat 17, Allah menggambarkan keadaan syurga :

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda”. (QS. Al-Waqiyah 17)

Tenggang waktu yang diberikan Allah dimuka bumi ini sangatlah terbatas.

“Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-An’am 60).

Terhadap seklompok manusia (kaum) Allah juga berfirman :

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat penundaan atau percepatan sesaat pun”.(QS.Al-A’raf 34).
Dibanding dengan usia alam semesta ini, umur manusia atau umur suatu generasi tiadalah artinya. Keberadaannya bagai kejapan mata. Usia alam semesta kini lebih dari lima belas milyar tahun. Allah berfirman,

“ Katakanlah,”Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhiratitu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.”(QS.An-Nisa :77)

Dengan demikian umat manusia, sebenarnya berhadapan dengan suatu masalah besar, yaitu bagaimana memanfaatkan waktu yang amat singkat ini dengan amal shaleh yang sebanyak-banyaknya. Sementara, kehidupan dunia dengan berbagai perhiasannya sering menjadi faktor yang dapat melalaikan kehidupan mereka. Disinilah manusia seringkali terkecoh, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : ”Dua nikmat yang seringkali manusia terkeecoh (tertipu) olehnya, yaitu sehat dan waktu luang.”(HR.Bukhori)
Al-Qur’an banyak melukiskan gambaran manusia yang tertipu oleh kesempatan hidup yang Allah berikan. Firman Allah :

“… Dan berkatalah orang-orang yang zhalim, “Ya Tuhan kami, berilah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.”(Kepada mereka dikatakan),”Bukankah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah badhwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?” (QS. Ibrahim : 44)

Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita memperhatikan waktu. Kita harus menyadari bahwa hidup ini amatlah singkat, sehingga membuat kita berdisiplin terhadap waktu, baik yang berkaitan dengan amal shaleh maupun janji-janji.

Diriwayatkan oleh Rasulullah Saw dari lembaran Nabi Ibrahim : “orang yang berakal dan dapat mengendalikan akalnya, seharusnya memiliki empat waktu ; Pertama, waktu untuk beribadah kepada Allah. kedua, waktu untuk introspeksi diri (muhasabah). Ketiga, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah. Dan keempat, waktu untuk memenuhi kebutuhan jasmani.” (HR. Ibnu Hibban).

Seorang muslim harus menunaikan kewajibannya secara seimbang, kepada Rabbnya, dirinya, keluarganya, masyarakatnya dan kepada dunia secara umum sebagai bukti pelaksanaan tugasnya sebagai khalifatullah fil ‘ardhi. Semua itu menuntut kemampuan kita dalam menentukan skala prioritas waku untuk kemudian diisi dengan amalan yang telah ditentukan, baik yang wajib maupun yang sunnah.

Wallahu alam bish shawab





Tidak ada komentar: